15/05/13

Yeah, I hope It Really, Really Could Happen




Ah, Menyesal. Itu kata yang pantas dilabuhkan pada saya karena melewatkan satu event konser dari grup musik era 90-an yang berlabuh ke Jakarta. BLUR! Saya tau Blur sejak masih SD ketika lagu “Coffee & TV” sering muncul di TV nasional Indonesia. Beranjak SMP saya masih mengikuti perkembangan mereka ketika album Think Tank (2003) dilepas tanpa sang punggawa gitar, Graham Coxon. Dia meninggalkan Blur di kala Damon Albarn mulai asik dengan proyek band visualnya Gorillaz. Ketika SMP pula lah saya sering ngejam bersama teman-teman band membawakan lagu “Song 2”.

Namun saya baru benar-benar mengulik lagu-lagu mereka ketika akhir masa kuliah di pertengahan tahun 2012. Ketika itu saya melihat video teaser Blur yang baru saja mengeluarkan box set album mereka dalam rangka merayakan 21 tahun Blur. Sejak itu rasa penasaran semakin memuncak.

Kemudian proses mendengarkan pun terjadi. Arrrgghhhh, saya terkagum-kagum dengan lagu-lagu mereka. Kemana aja saya selama ini. Ngakunya penggila musik, tapi melewatkan salah satu legenda musik Britpop. Karena akan sulit mencari albumnya di toko-toko CD sekarang, akhirnya pencarian dilakukan ke pedagang kaset bekas di Jogja.

Karena tidak mendapatkan hasil, akhirnya saya titip ke sobat saya Remo yang seorang kolektor kaset akut dan sering berburu kaset ke daerah Ngejaman (daerah sekitar Jalan Malioboro, Yogyakarta). Karena dia kenal dengan sang penjual, tidak tanggung-tanggung 3 kaset Blur berhasil di dapatkan. The Best of (2000), Blur (1997), dan 13 (1999). Remo pun memberikan secara cuma-cuma karena saya telah membantunya dalam membuat hadiah untuk kekasihnya Prita. Thanks banget Mo!! :D

Setelah kejadian kemarin saya hanya bisa iri melihat orang-orang yang mengunggah foto dan video Blur saat live di Lapangan D Senayan kemarin. Ah, menyesal tingkat dewa ini namanya. Tapi ya sudahlah, semua sudah terlewat. Saya tidak punya budget cukup untuk membeli tiketnya. Maklum, tabungan terbatas dan saya hanyalah pekerja dengan gaji pas-pasan yang baru mulai mencoba menakhlukan ibukota selama 5 bulan.

Blur - Live in Jakarta
Banyak yang bilang kalau fans sejati akan melakukan apa saja untuk menyaksikan musisi idolanya. Ya terserah orang mau menilai saya seperti apa. Tapi yang pasti saya tetap menyukai Blur apapun yang terjadi. Saya memang terbilang baru menyukai mereka, tapi bukan karena alasan terlihat keren atau apalah. Saya tetap mengagumi mereka dengan karya-karyanya, dengan segala keunikan mereka, dan segala cerita yang mengiringi karir musik mereka. Semoga suatu hari nanti saya bisa menyaksikan mereka langsung di Hyde Park! Ya setidaknya menonton Blur tampil live di mana pun saya bisa menggapainya.

Saya ingin memberi applause sekuat tenaga ketika Coxon masuk stage dengan Stripes Tshirt, dan Fender Telecaster signature-nya, kemudian mulai menyanyikan “Coffee & TV”. Berjingkrak-jingkrak ketika Dave Rowntree mulai memainkan ketukan drum pembuka lagu “Song 2”. Mengangkat tangan ketika Damon Albarn bergerak pecicilan saat menyanyikan “Country House”. Ber-singalong ketika Alex mulai mengeluarkan bass betotnya dan “Tender” dilantunkan. Dan memuncaknya rasa haru bercampur bahagia ketika “The Universal” menjadi klimaks penutup aksi mereka.




Yeah, I hope It Really, Really Could Happen.


14/05/13

I Wouldn’t Miss It For The World


Toy Story 2, film yang keluar ketika saya masih SD di tahun 1999 ini mungkin sudah beberapa kali saya tonton. Film ini dan prequel sebelumnya Toy Story (1997) membuat saya jatuh cinta pada film-film buatan Pixar Animation Studio.

Saya sontak terkejut dengan sebuah quote dalam film Toy Story 2 yang berbunyi
"I can’t stop Andy from growing up… but I wouldn’t miss it for the world"
Kata-kata ini keluar di scene ketika Buzz dan teman-temannya menjemput Woody untuk pulang ke rumah Andy. Saat itu Woody awalnya menolak ajakan Buzz karena merasa tempatnya adalah bersama teman-teman Woody’s Roundup-nya yang baru ia kenal. Ketakutan terbesarnya adalah kehilangan Andy yang suatu saat akan beranjak dewasa. Woody lebih memilih masuk ke museum di Jepang dan tidak merasa kehilangan teman seperti yang pernah dialami Jessie.

Akhirnya Buzz memutuskan untuk kembali tanpa berhasil mengajak Woody, di situlah Woody teringat akan semua kenangan bersama Andy. Mengusap polesan cat baru pada sepatunya dan menemukan nama Andy tertulis di sana. Saat itulah dia tersadar. Dia memang tidak akan bisa menghentikan pertumbuhan Andy yang akan beranjak dewasa dan mungkin tidak memainkan mainan-mainannya lagi. Tapi dia tidak ingin melewatkan momen-momen itu. Momen ketika dia disayang sebagai teman, ketika selalu bersama Andy dan mainan lainnya.


  
Dari quote tersebut saya sadar, setiap orang pasti akan menjadi dewasa. Seiring bertambahnya umur akan mengalami banyak pengalaman baik dan buruk dalam hidup. Sejak lahir hidup bersama kedua orang tua dan keluarga, berjumpa teman-teman baru sampai tahapan di mana teman berubah jadi sahabat. Seringkali kita tidak bersedia jika diberi pilihan untuk meninggalkan kehidupan sekarang dan menukarnya dengan petualangan baru di depan sana.

Perjumpaan dan perpisahan akan menjadi suatu fase yang harus dihadapi. Ya, itulah hidup. Tidak selamanya kita akan bersama orang yang sama terus menerus. Manfaatkanlah waktu selagi ada kesempatan untuk menjalani masa-masa indah bersama orang-orang yang kita sayangi, baik orang tua, kakak, adik, teman, dan sahabat. Karena kita tidak tahu kapan akan berakhir masa indah itu.

06/05/13

Saya Sudah Memilih! :)


Wow, sudah hampir setahun blog ini melempem beku tanpa torehan isi. Selama itu pula saya menjalani banyak sekali pengalaman hidup baru.  Inilah tulisan pertama tahun 2013 yang disempatkan untuk ditulis di sela kesibukan kerja. Ya! Saya sudah bekerja sekarang sebagai graphic designer di salah satu advertising agency. Sudah sekitar 5 bulan lebih saya tinggal di Ibukota. Kota yang dari dulu saya hindari karena kompleksitas dan kepenatan yang saya rasakan saat menyambanginya.  Tapi semua itu saja jalani untuk mencari petualangan baru.

Sebenarnya jujur masih besar keinginan untuk bersantai dulu setelah wisuda November 2012 kemarin. Rencana telah disusun, mulai dari mengunjungi tempat-tempat yang belum saya jelajahi di Jogja, mengunjungi Solo, dan menghabiskan waktu bersama teman sampai akhir tahun datang. Namun, panggilan kerja yang saya dapat membuat saya harus memilih. Sangat berat meninggalkan Jogja. Kota yang mendidik, dan memelihara saya selama 5 tahun cukup membekas dalam perjalanan kehidupan saya.

Kereta pagi Bogowonto jurusan Jogja-Jakarta menjadi saksi bagaimana murungnya saya yang hanya terpaku memandangi keadaan kota Jogja yang perlahan terlihat semakin kecil dari sisi jendela. Tangan saya hanya bisa mengetik kata-kata melalui kicauan twitter yang berbunyi “ Jogjakarta. 5 years, many stories, and thousands experiences”. Saya hanya bisa berbagi bagaimana kesedihan bercampur aduk dengan antusiasme yang meledak.

Respon pun bermunculan dari teman-teman saya. Baik dari teman kampus, BEKAGE, dan Bulaksumur. Semua respon terhadap kicauan saya membuat perasaan semakin bergejolak. Tidak satu kicauan pun saya balas. Bukan bermaksud sombong, tetapi berat untuk membalas karena perasaan sedih meninggalkan Jogja yang semakin memuncak.

Sebenarnya bila ditanya tentang kesiapan, jujur saya belum siap menginggalkan kehidupan di Jogja. Tanpa perlu mendengarkan mitos tentang drumband keraton pun saya sudah cukup membekas di Jogja. Namun, jika ditanya kapan saya siap, saya pun tidak bisa menjawab. Sesampainya di Jakarta saya pun meghadapi kembali culture shock yang luar biasa. Jelas sekali berbeda kehidupan Jogja yang tenang, dengan semrawutnya ibu kota. Saya kembali menjadi anak kost baru sekaligus menjadi outsider di lingkungan baru.

Seringkali kesepian muncul ketika akhir pekan tiba. Tidak mudah mengajak main teman yang posisinya sudah sama-sama bekerja. Ketika di Jogja, sangat mudah mencari teman untuk mengisi kebosanan di kostan. Pelarian bisa dilakukan ke sekre BEKAGE dan bulaksumur. Ketika saya menjelajahi dunia maya pun saya hanya bisa termangut memandang linimasa teman-teman yang asik berbalas-balas kicauan, dari mulai becandaan sampai ajakan kongkow.

Ah, semua itu membuat saya mupeng dan ingin sekali kembali ke Jogja. Setelah bercerita dengan teman saya yang telah lebih dulu merantau di ibukota, mata saya pun mulai terbuka. Saya harus mencari petualangan baru. Kesepian itu biasa, persis yang saya hadapi dulu ketika pertama kali merantau ke Jogja. Semua pasti bisa dihadapi. Disamping itu sudah saatnya saya harus menghadapi dunia yang sebenarnya. Menghadapi ujian kehidupan yang jauh lebih sulit dari ujian pendadaran skripsi. Nilainya tidak bisa disamai oleh mata kuliah apapun di dunia.

Lagipula pekerjaan inilah yang saya inginkan dari dulu. Saya tidak pernah menyalahkan siapapun karena telah terjerumus ke UGM. Saya pun tidak mau menyesali tidak pernah kuliah desain seperti yang saya inginkan. Saya hanya bisa bersyukur karena diberikan 5 tahun yang luar biasa indah di Jogjakarta. Setiap ada pertemuan pastinya akan ada perspisahan. Itulah siklus hidup. Tidak selamanya kita akan bersama dengan orang yang sama. Semua itu akan menjadi kenangan yang akan selalu diingat dan menjadi penanda pencapaian yang membentuk kita seperti sekarang ini.

Perjalanan mengejar mimpi saya masih panjang. Saya merasa malu ketika melihat banyak karya-karya yang jauh lebih bagus dan berbobot di dunia per-desaingrafis-an. Dulu sering besar kepala ketika orang pernah memuji hasil karya saya. Perlu diketahui bahwa masih banyak karya yang lebih bagus dan gila. Saya masih sangat pemula di bidang ini. Saya masih harus banyak belajar ilmu desain dan segala isinya untuk menjadi lebih baik. Saya harus bisa hidup dari jalan ini.

Untuk Jogja dan segala isinya yang menyenangkan, terima kasih banyak. Saya mungkin masih sering  iri melihat teman-teman yang masih bisa berkumpul bersama. Tapi, setidaknya saya sudah memilih. Pilihan ini harus terus dijalani. Suatu saat nanti, saya akan mengunjungi Jogja untuk melepas kerinduan yang sudah terbendung hampir setengah tahun lamanya. Semoga bisa terlaksana :)